DAMPAK SINGGAHNYA PENCARI SUAKA KE AUSTRALIA TERHADAP PENINGKATAN KEJAHATAN TRANSNASIONAL

DI INDONESIA

Abstract

This research attempts to analyze and explicate the impact of the Australia-headed asylum seekers’ stopover towards the non-traditional security threat in Indonesia during 2009 until 2012, and then investigate some factors that influence the non-traditional security threat accordingly. The background of this study is the correlation between the increase of the number of Australia-headed asylum seekers during the last three years and the escalation of the transnational crimes occurred in Indonesia caused by the asylum seekers. By employing the formula of the occurrence of non-traditional security threat proposed by Lani Kass, this research analyzes the causes of the occurrence of non-traditional security threat. Subsequently, asylum seekers as Clandestine Transnational Actors (CTA) is the synthesis of Peter Andreas’ theory about threat from non-state actors affecting the increase of non-traditional security threat. The hypothesis offered in this research is that the stopover of Australia-headed asylum seekers to Indonesia has the effect on the escalation of non-traditional security threat to Indonesia. This is explicated through the first premise of the hypothesis that is the existence of accesses and pathways in the outer islands of Indonesia which enable the illegal entry of asylum seekers unnoticed by immigration officers on guard or patrol. And then the second premise of this research hypothesis is that the incapability of Indonesia to thoroughly handle the problem of asylum seekers leads to the increase of transnational crime in Indonesia. This research focuses on four prominent transnational crimes in Indonesia namely drug dealing, human trafficking, human smuggling and terrorism.

Keywords:asylum seekers, Indonesia, Australia, transnational crime and non-traditional security threat

Permasalahan mengenai arus pencari suaka[1] yang memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang tak kunjung mereda, bahkan jumlah pencari suaka kini kian meningkat. Tercatat diUnited Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Jakarta, jumlah pencari suaka diIndonesia pada tahun 2010 mencapai 3.905 orang. Jumlah tersebut terus meningkat di tahun 2011 menjadi 4052 orang. Sampai dengan akhir Oktober 2012 terdapat 6.995 pencari suaka terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif. Mereka berasal dari Afghanistan (56%), Iran (11%) dan Pakistan (7%), sisanya berasal dari Irak, Myanmar, Sri Lanka dan Somalia[2]. Indonesia merupakan salah satu negara yang harus berhadapan dengan permasalahan orang asing seperti banyaknya pencari suaka yang singgah dan bahkan tinggal diIndonesia.Dengan konsekuensi letak geografis yang strategis, Indonesia merupakan tempat persinggahan favoritbagi gelombang pencari suaka ke negara tujuan yaitu Australia.

Para pencari suaka tersebut biasa memasuki kawasan Indonesia melalui beberapa jalur perairan yang terdapat di daerah-daerah yang tersebar di Indonesia. Jalur-jalur tersebut berada di daerah seperti Kepulauan Riau (Batam dan Pekanbaru), Sumatera Utara (Medan), beberapa daerah di Jawa Barat seperti Karawang dan Serang, serta beberapa jalur perairan di Jawa Timur seperti Trenggalek, Malang dan Banyuwangi[3]. Penetapan sebagai pencari suaka oleh UNHCR membutuhkan proses yang tidak sebentar. Alur penetapan sebagai pencari suaka pada mulanya diawali dengan gelombang orang asing yang tertangkap oleh petugas imigrasi atau para nelayan Indonesia saat memasuki kawasan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Mereka dibawa ke kantor imigrasi untuk dilakukan wawancara dan pengecekan kelengkapan dokumen dan kesehatan. Contohnya seperti yang terjadi pada tanggal 11 Juli 2012 lalu, sebanyak 26 imigran yang ditemukan oleh petugas kepolisian di kawasan villa Singosari, Malang Jawa Timur, saat diperiksa mereka tidak dapat menunjukkan kelengkapan identitasnya, maka mereka dikatakan sebagai imigran gelap[4]. Setelah tes kesehatan dan wawancara untuk mengetahui tujuan ke Indonesia oleh petugas imigrasi, baru mereka dibawa ke Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi) dan diserahkan pada IOM (International Organization for Migration) untuk proses penampungan. Di penampungan didatangi oleh UNHCR. UNHCR bertugas melakukan serangkaian tes bagi para imigran gelap dan pencari suaka yang ingin mengajukan diri sebagai pengungsi.

Kondisi di Indonesia saat ini hanya memiliki 13 rudenim untuk menampung para pencari suaka yang akhirnya singgah di Indonesia[5]. Tentunya jumlah rudenim tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan ribuan pencari suaka yang masuk ke Indonesia. Menteri Hukum dan HAM tahun 2011 Patrialis Akbar juga mengatakan tak jarang pemindahan para pencari suaka ke rumah-rumah biasa kerap dilakukan[6]. Tentunya dengan cara tersebut sangat berpotensi membuat semakin banyaknya pencari suaka yang tidak terdeteksi di Indonesia. Terlebih beberapa kasus permasalahan juga kerap terjadi di sejumlah rudenim, seperti kasus pencari suaka asal Afghanistan yang melarikan diri di Rudenim Pontianak pada 23 Februari 2012 dan kericuhan antar sesama imigran ataupun dengan masyarakat, seperti yang terjadi di rudenim Riau pada 28 Juli 2012[7].

Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang status pencari suaka dan pengungsi, sehingga tidak ada hukum nasional khusus yang mengatur tentang status dan keberadaan para pencari suaka di Indonesia. Selama ini penanganan atas pencari suaka dan pengungsi di Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai lembaga pengawas orang asing yang diberikan wewenang oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan Undang-Undang no.9 tahun 1992 tentang keimigrasian[8]. Indonesia terpaksa menyerahkan kewenangan penentuan status pencari suaka pada UNHCR, dengan dibantuoleh IOM yang selama ini memberikan bantuan materi untuk kebutuhan pangan para pencari suaka yang tinggal di rudenim.Dalam setahun UNHCR hanya mengeluarkan 300 status pengungsi bagi pencari suaka[9].Sementara menurut Fritz Aritonang (Kepala Imigrasi Siantar, Sumatera Utara) pencari suaka yang tercatat masuk ke Indonesia jumlah setiap tahunnya bertambah rata-rata 1.500 orang[10]. Tentu sisanya yang belum mendapat kepastian status pengungsi dari UNHCR tersebut menjadi beban yang harus ditanggung Indonesia. Selainlambatnya proses di UNHCR, IOM juga terkesan memanfaatkan rudenim Indonesia sebagai lokasi penampungan. Padahal, anggaran tempat untuk para pengungsi per orangnya sudah ada.Namun anggaran yang ditanggung IOM hanya biaya makan,padahal biaya tinggal per harinya bagi pengungsi adalah Rp60.000, tapi itu terbebas karena mereka tinggal di rudenim. Hal tersebut menjadi bagian dari kerugian negara dalam pembiayaan para pencari suaka yang tinggal di rudenim.

Menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pada tahun 2011, Komisaris Jenderal Ito Sumardi Pencari suaka yang singgah di Indonesia rawan menjadi kurir kejahatan transnasional seperti kejahatan perdagangan narkotika dan terorisme[11].Saat ini penanganan masalah pencari suaka masih sangat parsial dan terbatas.Keterbatasan itu termasuk dalam hal sumber daya manusia, anggaran, sarana dan prasarana pada lembaga-lembaga terkait, melemahnya pengawasan pada jalur darat, laut dan udara, kendala dalam bidang teknologi, serta lemahnya hukum secara yuridik dan diplomatik[12]. Meski sudah terdapat beberapa bantuan dari pihak eksternal seperti UNHCR, IOM dan juga pemerintah Australia tetap saja Indonesia masih memiliki potensi terancamnya keamanan non-tradisional dengan singgahnya ribuan pencari suaka. Hal tersebut telah dikatakan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Timur Pradopo pada Januari lalu bahwa jumlah kasus kejahatan transnasional yang dialami Indonesia kini meningkat[13]. Data Polri menunjukkan bahwa tahun 2010, terjadi 10.444 kasus.Terdapat tiga kasus transnasional yang menonjol,yaitu kejahatan dunia maya, kejahatan narkoba dan kejahatan terorisme. Pada tahun 2011 naik menjadi 16.138 kasus. Data terbaru menunjukkan sepanjang 2012 Mabes Polri menangani 21.457 kasus transnasional, jumlahnya naik 24,78 persen dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2009 hingga 2012terdapat empat tren kejahatan transnasional yang paling menonjol yaitu penyelundupan obat-obatan terlarang (narkotika), perdagangan manusia (trafficking), penyelundupan manusia dan terorisme [14].

Diakui Kapolri Timur Pradopo, tak semua kasus kejahatan transnasional tersebut bisa diselesaikan secara hukum di akhir tahun 2012 lalu. Dari total 21.457 kasus kejahatan transnasional pada tahun 2012, Polri baru dapat menyelesaikan 16.884 kasus. Sebanyak 4.573 kasus masih menjadi pekerjaan rumah bagi Polri untuk dituntaskan pada 2013 ini[15]. Sedangkan jumlah kasus yang disebabkan oleh para pencari suaka yang masuk ke Indonesia selama periode bulan Januari hingga bulan Mei, tahun 2010 mencapai 61 kasus[16]. Angka ini merupakan peningkatan yang sangat signifikan karena mencapai hampir 100% dari jumlah kasus ditahun sebelumnya, yaitu sebesar 31 kasus[17].

Kerangka Pemikiran: “Ancaman Keamanan Non- Tradisional”

Meninjau dari kajian studi keamanan yang ditulis oleh Barry Buzan dkk (1998), konsep keamanan berada di dua interaksi perdebatan. Argumen pertama diusung oleh pemikiran para tradisionalis yang mengatakan bahwa ancaman keamanan negara diindikasikan dengan adanya kompetisi dan masalah keamanan antar negara, misal adanya perlombaan senjata (arm race) dan pembangunan kekuatan militer (military build-up) sehingga berdampak pada ancaman keamanan nasionalnya. Sedangkan kelompok non-tradisionalis mengatakan bahwa masalah keamanan suatu negara harus memasukkan masalah keamanan intra-negara dan masalah keamanan transnasional[18]. Yang dimaksud dengan masalah keamanan intra-negara adalah misalnya terjadinya kekacauan (disorder) di dalam negara oleh masyarakat atau penduduk karena etnik, ras (warna kulit), agama, linguistik atau strata ekonomi[19]. Sedangkan masalah keamanan transnasional misalnya munculnya ancaman yang disebabkan oleh arus migrasi, kerusakan lingkungan hidup dan masalah kependudukan seperti besarnya jumlah penduduk(over population)[20].

Busan memahami keamanan sebagai persoalan yang berkaitan dengan nasib manusia sebagai kolektivitas.Keamanan menurutnya mencakup ancaman yang berasal dari luar maupun ancaman yang berasal dari dalam (negeri) sendiri. Bagi negara yang memiliki banyak akses lintas negara semakin memperbesar peluang terhadap terjadinya tindakan kejahatan transnasional.Semakin meningkatnya keberadaan orang asing secara ilegal di suatu negara memberikan kerugian bagi negara tersebut, baik secara finansial dan material[21].Partogi mengatakan bahwa ancaman keamanan non-tradisional bagi suaka negara adalah ancaman keamanan yang bersifat eksklusif dengan keamanan negara yang datangnya dari ancaman yang bersifat non-militer. Kehadiran orang-orang asing yang menjadi penduduk di suatu wilayah menjadi indikasi adanya tantangan keamanan non-tradisional[22].

Sejalan dengan ide Buzan tentang ancaman keamanan non-tradisional, Lani Kass, seorang doktor di bidang ahli strategis dari National War College AS juga pernah menulis dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Strategic Review” yang membagi ancaman ke dalam tiga bagian yaitu ancaman internal, ancaman eksternal dan ancaman intraeksternal. Ancaman internal adalah ancaman yang berasal dari dalam negara, seperti adanya terrorisme dan konflik komunal yang dapat menghasilkan ancaman keamanan non-tradisional. Ancaman eksternal adalah ancaman yang berasal dari luar negara, yang seringkali diidentikan dengan ancaman dari negara lain atau negara musuh. Sementara ancaman internal-eksternal merupakan ancaman yang tidak dapat dipastikan secara tepat sumbernya, seperti serangan terorisme global[23].

Khusus untuk ancaman keamanan non-tradisional yang dikategorikan Kass ke dalam ancaman internal, Kass membuat formula tersendiri

Gambar. 1 Formula Terjadinya Ancaman Dari Lani Kass[24].

Dari formula diatas dapat dijelaskan bahwa terdapat tiga aspek yaitu kerentanan negara (vulnerabilities), tujuan masuknya orang asing (intention) dankapabilitas negara (capabilities). Jika ketiga aspek tersebut dikolaborasikan menjadiberpengaruh terhadap tingkat ancaman. Perubahan tingkat pada satu aspek yang terdapat di dalam formula tersebut dapat langsung berpengaruh pada tingkat ancaman[25]. Misal suatu negara memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dalam isu kedaulatan atau isu konflik suku, ras dan antar golongan (SARA), ditambah dengan banyaknya orang asing yang memasuki negara tersebut namun Ia memiliki kapabilitas yang baik dalam hal kemapanan ekonomi dan militer sebagai penangkal atas kerentanan dan masuknya orang asing, maka terjadi penurunan pada tingkat ancaman. Kass mengatakan tentang pengukuran penurunan kerentanan dengan meningkatkan perlindungan tanah air dengan aspek-aspek seperti kesiapan, kesiagaan dan prioritas[26].

Proses Masuk dan Singgahnya Para Pencari Suaka ke Australia Melalui Jalur dan Akses Pulau-Pulau di Indonesia

Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar, Indonesia masih memiliki banyak akses atau jalur masuk serta kawasan perbatasan yang masih minim pengawasan. Akses dan kawasan perbatasan yang masih minim pengawasan tersebut digunakan para pencari suaka untuk masuk ke Indonesia, sehingga menyebabkan terjadinya tindakan kejahatan transnasional yang dilakukan oleh para pencari suaka yang kemudian singgah di Indonesia tersebut. Permasalahan yang timbul setelah pencari suaka datang di Indonesia adalah bagaimana kehidupan para pencari suaka.Apakah mereka mendapatkan hak sebagaimana warga negara asing pada umumnya. Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan banyaknya pencari suaka datang, apakah semudah itu memasuki Indonesia. Sebelum akhirnya singgah dan ditetapkan sebagai pencari suaka di Indonesia oleh UNHCR, gelombang orang asing dan imigran terlebih dahulu harus melewati proses pemeriksaan oleh imigrasi Indonesia. Bagian ini menguraikan bagaimana proses para imigran atau orang-orang asing tersebut akhirnya dapat singgah dan ditetapkan sebagai pencari suaka di Indonesia. Selain itu di bagian ini juga menjelaskan dan menganalisis mengenai salah satu premis dalam hipotesis penelitian ini yaitu akses di Indonesia yang mudah dimasuki oleh pencari suaka dalam kaitannya dengan peningkatan ancaman keamanan non-tradisional.

Mayoritas gelombang orang asing (imigran gelap) sampai ke Indonesia melewati jalur laut dengan menggunakan perahu nelayan atau kapal rumpon di wilayah-wilayah “favorit” sebelah barat Indonesia, yaitu Pulau Sumatera, sepanjang perairan pantai selatan khususnya daerah sekitar Provinsi Banten dan Jawa Barat sebagai tempat bertolak menuju Australia. Gelombang orang asing (imigran gelap) biasanya tertangkap oleh petugas keamanan ataupun nelayan.Tidak jarang gelombang orang asing tersebut terdampar karena kehabisan bekal makanan atau ditolong oleh masyarakat karena kondisi keselamatan mereka yang terancam seperti keadaan perahu yang tak layak atau keadaan darurat seperti terapung di lautan.

Penetapan sebagai pencari suaka oleh UNHCR membutuhkan proses yang tidak sebentar. Alur penetapan sebagai pencari suaka pada mulanya diawali dengan gelombang orang asing yang tertangkap oleh petugas imigrasi atau para nelayan Indonesia saat memasuki kawasan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) secara ilegal. Mereka dibawa ke kantor imigrasi untuk dilakukan wawancara dan pengecekan kelengkapan dokumen dan kesehatan. Contohnya seperti yang terjadi pada tanggal 11 Juli 2012 lalu, sebanyak 26 imigran yang ditemukan oleh petugas kepolisian di kawasan villa Singosari, Malang Jawa Timur, saat diperiksa merekatidak dapat menunjukkan kelengkapan identitasnya, maka mereka dikatakan sebagai imigran gelap[27].

Setelah tes kesehatan dan wawancara untuk mengetahui tujuan ke Indonesia oleh petugas imigrasi, baru mereka dibawa ke rudenim dan diserahkan pada IOM untuk proses penampungan. Di penampungan didatangi oleh UNHCR.UNHCR bertugas melakukan serangkaian tes bagi para imigran gelap dan pencari suaka yang ingin mengajukan diri sebagai pengungsi. Untuk mendapatkan perlindungan internasional sebagai pengungsi, seorang pencari suaka harus membuktikan adanya kemungkinan yang rasional tentang penderitaan yang Ia takutkan atau yang terjadi pada dirinya apabila Ia kembali ke negara asalnya, melalui proses yang disebut penentuan status sebagai pengungsi (RefugeeStatusDetermination). Proses ini bertujuan untuk menentukan apakah seorang pencari suaka memenuhi kriteria untuk disebut sebagai pengungsi sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi PBB tahun 1951 tentang Pengungsi dan protokol tahun 1967.

Indonesia sampai saat ini belum memiliki aturan hukum dan teknispenangananimigran gelap (illegal) yang masuk ke Indonesia. Setidaknya ada beberapa proses atau tahapan yang harus dilalui para imigran yang memasuki Indonesia sebelum akhirnya ditetapkan sebagai pencari suaka. UNHCR menjalankan prosedurPenentuan Status Pengungsi atauRefugee Status Determination (RSD)yang dimulai dengan registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka.Setelah registrasi, UNHCR melakukan wawancara individual dengan masing–masing pencari suaka, dengan didampingi seorang penerjemah yang kompeten. Proses ini melahirkan keputusan yang berdasarkan alasanpenentuan apakah permintaan status pengungi seseorang diterima atau ditolak. Jika ditolak masing–masing individu diberikan sebuah kesempatan (satu kali) untuk meminta banding apabila permohonannya ditolak.