Respon China, Indonesia dan Filipina Terhadap Keberadaan Pangkalan Militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Tahun 2011-2012

Rina Oktavia

070810526

Abstract

In November 2011, Barack Obama announced his agreement with Australian Prime Minister Julia Gillard that United States and Australia has agreed to enhancing alliance in military sector, he said that United States will establish a new permanent military base in Darwin, Australia. The military base will equipped with 2,500 marines gradually from 2012 to 2015. Difference reaction showed from Asia Pasific nation. As we know, in Asia Pasific region still have many issues, China polical problem with Taiwan, as well as several border disputes with India, Japan and some ASEAN member countries in relation to South China Sea claims. Moreover, US military base in Darwin will affect Indonesia as a closest nation with only 820 km from its boundary to Darwin. With all the issues, many different reaction showed from Asia Pasific countries. Writer classifying the reaction into three categories, support, neutral and unsupport the US military base.

Sejak November 2011 Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Perdana Menteri Australia Julia Gillard mengumumkan akan meningkatkan kerja sama militer, dengan menempatkan pangkalan militer Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2012 di pangkalan udara Robertson Baracks, Darwin, Australia. Kesepakatan Amerika dan Australia untuk penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara ditunjukkan dengan dikirimnya 200 prajurit korps marinir AS (USMC) yang tiba di Darwin pada Rabu 4 April 2012 yang direncanakan akan ditugaskan selama enam bulan Jenderal Joseph Dunford terlebih dulu tiba di Australia pada Jum’at 30 Maret 2012 untuk meninjau barak yang akan digunakan oleh Marinir Amerika Serikat.[1] Ini adalah gelombang pertama dari rencana penempatan 2.500 prajurit Marinir Amerika Serikat yang akan ditempatkan di Darwin tahun 2012. Berdasarkan kesepakatan, militer Amerika Serikat dapat mempertahankan kehadiran pasukannya di Australia sampai 2017.[2]

Perdana Menteri Australia Julia Gillard, Menteri Pertahanan Stephen Smith, dan Menteri Teritori Utara Paul Henderson mengeluarkan pernyataan bersama untuk menyambut prajurit Marinir Amerika Serikat tersebut “ini menunjukkan evolusi dari berbagai latihan dan kegiatan selama ini yang sudah dilakukan oleh Amerika Serikat dan Angkatan Bersenjata Australia”.[3] Stephan Smith lebih jauh mengatakan “aliansi antara Amerika Serikat dan Australia telah berlangsung lebih dari 60 tahun, dan kehadiran Amerika Serikat di Asia Pasifik telah membentuk kestabilan, kesejahteraan dan investasi, kami melihat hal tersebut terus berlangsung sampai saat ini”.[4] Australia memulai aliansinya dengan Amerika Serikat secara formal dalam pakta ANZUS yang ditanda tangani pada tahun 1951. Pakta ANZUS mgeinkat Australia dan Amerika Serikat untuk saling berkonsultasi dalam menghadapi ancaman bersama.[5]

Juru bicara Korps Marinir Amerika Serikat mengatakan, kontingen pertama ini berasal dari Resimen 3 Marinir di Hawaii. Mereka akan melakukan latihan dengan Angkatan Bersenjata Australia dan dikirim ke negara-negara lain di wilayah itu untuk melakukan latihan.[6] Sebuah berita di halaman depan harian Sydney Morning Herald mengatakan, kehadiran militer yang permanen itu telah dipertimbangkan beberapa tahun lalu saat Washington berusaha memperkuat Komando Pasifiknya. Juru bicara Pentagon, George Little, menolak memberi komentar mengenai berita itu. Ia hanya mengatakan, "Australia adalah sahabat dan sekutu Amerika, dan kami akan terus bekerja sama untuk meningkatkan dan lebih memperkuat hubungan militer kami."[7]

Terdapat dua alasan utama yang dikemukakan oleh Presiden Barack Obama terkait penempatan pangkalan militernya di Darwin, yang pertama adalah untuk menjaga dan meningkatkan kerja sama militer antara kedua negara yang telah berlangsung lebih dari 60 tahun. Alasan kedua adalah faktor ekonomi, secara eksplisit Obama mengatakan kehadiran marinir di Darwin untuk melindungi jalur komersial di Pasifik, dimana jalur ini sangat vital dan merupakan salah satu kepentingan Amerika Serikat untuk pengembangan ekonomi.[8] Secara resmi, perhatian Obama yang berkaitan dengan ekonomi Amerika Serikat adalah jalur perdagangan di Pasifik, karena Jalur perdagangan tersebut sangat penting bagi Amerika Serikat. Selain alasan kerja sama militer dan ekonomi, Presiden Obama juga menyatakan bahwa penempatan marinir tersebut bertujuan untuk tanggap bencana dan latihan bersama.[9]

Keberadaan Pangkalan Militer Amerika Serikat sangat berpotensi meningkatkan ketegangan karena tidak dapat dipungkiri kedekatan pangkalan militer tersebut dengan kawasan Asia Pasifik yang secara geografis kawasan Asia Pasifik adalah kawasan yang memilliki nilai penting dalam pusat-pusat kegiatan dunia dan juga dapat mempengaruhi kebijakan strategis dan kekuatan suatu negara yang ingin beradu dalam kawasan ini. Kawasan Asia Pasifik dipandang sebagai tempat yang paling cocok untuk memahami pentingnya peran regionalisme dalam membangun jaringan-jaringan interaksi yang sifatnya multilateral. Di kawasan Asia Pasifik ditemukan apa yang oleh George Shultz disebut sebagai “a web of cooperative realities” dan ini merupakan perkembangan yang sangat penting dalam hubungan internasional kontemporer.[10]

Beragam reaksi muncul pada KTT ASEAN November 2011 di Bali, Indonesia dalam menanggapi penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia. Seperti Sekretaris Komunikasi Filipina Ricky Carandang yang mewakili Filipina menanggapi dengan menyambut baik berita bahwa Amerika Serikat akan menempatkan 2.500 personil militer di Australia, Northern Territory selama bertahun-tahun mendatang.[11]

Reaksi kontra terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Australia ditunjukkan oleh Republik Rakyat China (RRC). Sebagai salah satu negara yang patut diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik merasa terancam dengan keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia. Kementerian Pertahanan China mengomentari keputusan Amerika Serikat tersebut sebagai bukti masih adanya mentalitas Perang Dingin di pihak Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, yang bisa menggerus rasa saling percaya di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Disamping itu China juga mengumumkan akan segera melakukan latihan militer di kawasan Pasifik Barat dua hari setelah Amerika Serikat menandatangani perjanjiannya dengan Australia. Bahkan China akan meluncurkan patroli bersama dengan tiga negara di Sungai Mekong, yaitu Laos, Myanmar, dan Thailand untuk mengembalikan perlayaran dan jaminan keamanan di sungai itu. Keempat negara ini akan mengeksplorasi lebih banyak cara untuk meningkatkan keamanan di perairan itu, dan China akan membantu melatih dan mempersenjatai polisi di Laos dan Myanmar untuk melakukan patroli.[12]

Selain China, negara yang cenderung terpengaruh akan kehadiran pangkalan militer Amerika Serikat tersebut adalah negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara yaitu Indonesia. Indonesia yang secara geografis sangat berdekatan dengan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara yang hanya berjarak 280 kilometer dari perairan Indonesia dan 820 kilometer dari Papua,[13] Cenderung untuk bersikap ambivalen, yaitu tidak mendukung namun juga tidak menolak kehadirannya. Dengan jarak yang sangat dekat tersebut, jika terjadi konflik yang melibatkan Amerika Serikat di kawasan Asia, tentu Indonesia akan menerima dampak positif maupun negatif dari keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat tersebut.

Dengan adanya kesepatan Amerika Serikat dan Australia dalam kerja sama militer, berupa penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara tersebut, cukup menarik untuk menyoroti bagaimana respon beberapa negara tetangga Australia seperti di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur dalam menanggapi isu tersebut bagi negara mereka, juga faktor apa saja yang menyebabkan munculnya respon negara-negara tersebut. Berdasarkan fakta yang terjadi, maka pembangunan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara menimbulkan beragam reaksi dari beberapa negara yang ada disekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini kemudian mencoba mengajukan pertanyaan: (1) bagaimana respon China, Indonesia dan Filipina yang berada dalam kawasan dalam kawasan Asia yang berdekatan dengan Australia dalam merespon penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin Australia? (2) Faktor-faktor apakah yang mendorong munculnya respon dari negara-negara tersebut?

Penelitian ini mengajukan argumentasi yaitu respon negara-negara tetangga Australia di kawasan Asia terhadap penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Tiga kategori tersebut adalah mendukung, ambivalen dan menentang. Mendukung dalam hal ini adalah dimana respon suatu negara yang merasa diuntungkan dan terlindungi dengan keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia. Ambivalen adalah reaksi suatu negara yang tidak berada dalam golongan pro dan kontra melainkan lebih menyikapi keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat tersebut sebagai posisi yang dapat menguntungkan tetapi juga dapat merugikan bagi kepentingan negaranya, posisi negara tersebut cenderung berubah-ubah menyesuaikan kondisi menurut kepentigan nasional bagi negaranya. Menentang dalam hal ini adalah satu reaksi yang muncul dimana suatu negara tidak merasa diuntungkan, namun justru merasa kepentingannya terancam atas keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Australia Utara.

Penelitian ini menggunakan tiga negara sebagai sampel yang sekaligus mewakili respon regional Asia Tenggara dan Asia Timur. Sampel meliputi Filipina, Indonesia untuk perwakilan dari Asia Tenggara dan China untuk perwakilan dari Asia Timur. Ketiga negara diseleksi dengan alasan: (1) ketiga negara memiliki peran yang signifikan dalam politik kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur; (2) ketiga negara memiliki karakterisik hubungan bilateral yang unik baik dengan Amerika Serikat maupun dengan Australia

Representasi dari negara-negara Asia Tenggara yaitu Filipina dan Indonesia sedangkan representasi dari Asia Timur adalah China. Klasifikasi menurut respon yang muncul adalah bahwa respon mendukung muncul dari Filipina. Namun, bertentangan dengan China yang lebih memilih menentang keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia tersebut. sedangkan Indonesia lebih memilih untuk mengambil sikap ambivalen dalam memandang penempatan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara

Beberapa konseptualisasi yang diajukan yaitu: (1) bilateral, menurut Merriam webster dictionary, bilateral adalah “affecting reciprocally two nations or parties”,[14] kemudian dikembangkan menjadi bilateralisme yang menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti “praktik meningkatkan hubungan dagang antara dua negara dengan cara membuat perjanjian yang mengatur hal, seperti volume dan komposisi perdagangan dan harga barang komoditi”.[15] Dari beberapa pemahaman tersebut peneliti memahami bilateral sebagai bentuk kerja sama atau hubungan antar dua negara. Dari hubungan bilateral dapat dilihat bentuk serta bidang kerja sama yang melibatkan dua negara. Sehingga, hubungan bilateral ini menjadi salah satu variabel peneliti untuk dapat menjelaskan faktor-faktor yang mendorong suatu negara merespon keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia; (2) kepentingan nasional, kepentingan nasional dalam hubungan internasional secara umum digunakan dalam dua hal yaitu, sebagai alat untuk mengidentifikasi tujuan atau objektif dari suatu kebijakan luar negeri dan sebagai konsep politik yang digunakan untuk membenarkan suatu kebijakan politik tertentu. Dari kedua hal tersebut, kepentingan nasional merujuk pada kebijakan suatu negara dalam hubungan luar negeri. Sehingga hanya diaplikasikan pada negara yang berdaulat yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri. Sebagai instrumen analisa politik, kebijakan nasional secara khusus diasosiasikan dengan teori politik realisme dan salah satu cendekiawan yang sangat berpengaruh Hans Morgenthau (1951). Menurut Morgenthau, kepentingan nasional merupakan istilah untuk kekuatan motif utama dari tindakan negara.[16] Dari dua pengertian tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa kepentingan nasional merupakan motif atau latar belakang dari kebijakan luar negeri suatu negara. Kepentingan nasional masing-masing negara dalam perpolitikan internasional tercermin dari kebijakan luar negerinya; (3) politik luar negeri, dalam hal ini peneliti mendapati banyak tinjauan untuk menjelaskan konsep politik luar negeri. Menurut Rosenau (1987) politik luar negeri sebagai sebuah aksi otoritatif oleh pemerintah, yang dikalkulasi dengan cermat dan memiliki tujuan dasar yang jelas.[17] Kemudian menurut Wilkenfeld (1980) berargumen bahwa politik luar negeri lebih merupakan aksi reaksi yang resmi dari suatu negara berdaulat, dengan tujuan menciptakan suatu kondisi maupun mengubah kondisi yang sudah ada, dalam konteks di luar batas-batas territorial negara tersebut.[18] Dari kedua pemahaman tersebut yang kemudian memunculkan asumsi peneliti bahwa politik luar negeri merupakan aksi reaksi atas isu yang ada. Politik luar negeri juga merupakan kepanjangan tangan dari politik atau kebijakan domestik negara, menurut Holsti (1963) dimana ide dan kebijakan (policy) merupakan bagian dari politik luar negeri suatu negara. Adanya perubahan situasi pada lingkungan internasional berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan negara.[19] Pengaruh individu atau kelompok pada level domestik suatu negara dapat mempengaruhi politik luar negeri suatu negara. Beberapa fitur utama politik luar negeri adalah bahwa ia disusun dalam kondisi domestik dan internasional yang kompleks, bahwa ia berupa resultan kepentingan dari aktor-aktor domestik dan internasional, bahwa isu yang diangkat selalu terkait kepentingan aktor. Negara sebagai aktor utama dalam studi hubungan internasional. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri adalah sikap atau kebijakan yang dikeluarkan negara sebagai bentuk respon atas isu yang terjadi dalam politik internasional; (4) budaya politik dan pengaruhnya terhadap politik luar negeri, budaya tidak lepas dalam membentuk karakter atau identitas suatu negara, Identitas nasional muncul dari debat dan diskursus yang ada, baik dari masyarakat, elit politik domestik, maupun pandangan bangsa lain, dan bersifat politis, serta disusun melalui proses yang terus berlangsung. Oleh karenanya, pemahaman mendalam mengenai pola-pola diskursus dan interaksi yang berlangsung, baik dalam ranah elit politik maupun masyarakat, menjadi salah satu pengaruh kebudayaan suatu negara dalam politik luar negerinya. Peran individu dan kelompok mempengaruhi politik luar negeri,[20] Identitas nasional didasarkan pada kebutuhan self-esteem atau kebanggaan diri yang bersumber dari sejarah bangsa dan aspirasi yang muncul darinya. Motivasi yang didasarkan pada aspirasi historis ini yang mendorong elit-elit politik sebagai penyusun kebijakan untuk membentuk atau mengubah identitas nasional dan kepentingan nasional demi mempromosikan kebanggaan diri bangsa tersebut.[21] Alastair Iain Johnston (1995) mengemukakan gagasannya mengenai aspek kultur strategis dari Negara, yang menyebabkan Negara mengambil kebijakan tertentu terkait keamanan dan politik luar negeri. Dalam pandangan Johnston, tindakan Negara, termasuk didalamnya politik luar negeri, merupakan efek dari kultur strategis Negara tersebut, yang didasarkan pada nilai-nilai kultural yang membedakannya dengan Negara lain.[22] Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa budaya membentuk karakter suatu negara yang kemudian mempengaruhi segala kebijakan negara, termasuk politik luar negeri negara tersebut. Sebagai salah satu pengaruh kebijakan suatu negara, budaya suatu negara dapat menjadi salah satu faktor analisa penulis untuk melihat latar belakang reaksi negara terhadap penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia.

China

China memiliki sikap kontra terhadap keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia. Sikap kontra China tercermin dari pernyataan pejabat pemerintahan China, salah satunya adalah juru bicara Kementrian Luar Negeri China Liu Weimin yang mengatakan “Bukan sesuatu yang sesuai untuk meningkatkan dan mengembangkan aliansi militer di kawasan ini”.[23] Pernyataan tersebut dikemukankan Liu Weimin dalam menyikapi pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia.

Sikap kontra China tersebut dikarenakan paradigma politik dan budaya China yang mempengaruhi China dalam politik luar negeri China, dan juga seolah menjadi hambatan (ganjalan) atas pertumbuhan dan kebangkitan China yang cukup signifikan. Dominasi kekuatan China di Asia yang juga merupakan satu hal penting perlu diperhitungkan. Ideologi realis dan neorealis yang diadopsi oleh paradigma Maoist juga membentuk sejarah panjang hubungan China dengan Amerika Serikat merupakan motif ketidaksetujuan China atas penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara.

Konflik yang terjadi di Laut China Timur dengan Jepang dan Taiwan, serta Laut China Selatan dalam perebutan Kepulauan Spratly dengan dengan Malaysia, Taiwan, Vietnam, Brunei, dan Filipina juga menjadi pertimbangan China dalam mengambil posisi kontra atau tidak setuju atas keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara. Hal yang sangat cukup beralasan mengingat semua negara yang terlibat konflik dengan China mempunyai hubungan yang baik dengan Amerika Serikat.