PERKEMBANGAN MOTORIK ANAK TODDLER PADA IBU BEKERJA DAN IBU TIDAK BEKERJA

Shabrina Sitoresmi, Kusnanto, Ilya Krisnana

Korespondensi:

Shabrina Sitoresmi, d/a: Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

Kampus C Jl Mulyorejo Surabaya. Telp. 085649174066

E-mail: ,

ABSTRACT

Toddler’s brain has formed 1.000 billion connection links which more active than adult brain. The role of mother to take care her child is needed in this age for the child’s developmental such as motoric developmental. Working mother has less hours to take care her family than full time mother. If a child has delay in motoric developmental, it will disturb her/his conceptual development which is influencing to the behavior and emotion. This research is purposed on knowing the difference of toddler’s gross motor and fine motor adaptive developmental between working mother and full time mother in Mulyorejo. The research was an observational analytic comparation study with cross-sectional approach. The populations in this research were mothers and toddlers. The samples were 60 pairs of mother-toddler which were divided into 30 pairs working mother-toddler and 30 pairs of full time mother-toddler. The sampling used consecutive sampling method. The data of toddler’s motoric developmental were collected by doing observation referring to DDST. Questionnaire was used to collect the general data. The data were analyzed by using Mann-Whitney test. The result of this research shows that there is no difference of toddler’s motoric developmental for gross motor and fine adaptive motor between working mother and full time mother. (p 0,05). This research implied that toddler’s motoric developmental of full time mother was not different than toddler’s motoric developmental of working mother due to good care in ASUH, ASIH, and ASAH.

Keywords : toddler’s motoric developmental, working mother, DDST

Jurnal Pediomaternal Vol. 3 No. 1 Oktober 2014-April 2015

PENDAHULUAN

Masa lima tahun pertama merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan, maka dari itu disebut juga “Golden Period”, “Window of Opportunity”, dan “Critical Period” (Depkes RI, 2005). Saat anak berusia tiga tahun, otak telah membentuk 1.000 triliun jaringan koneksi dimana dua kali lebih aktif daripada otak orang dewasa sehingga dapat menyerap informasi baru lebih cepat. Pentingnya interaksi pada umur tersebut karena berkontribusi pada perkembangan otak (Silberg, 2004). Salah satu perkembangan anak yang penting untuk dipantau pada usia toddler adalah perkembangan motorik karena banyak kinerja kognitif yang berakar pada keberhasilan perkembangan motorik (Pramusinta, 2003).

Kemampuan motorik dasar meliputi kemampuan motorik kasar yang melibatkan otot – otot besar atau kasar dan kemampuan motorik halus yang merupakan aktivitas keterampilan gerakan otot – otot kecil, seperti menggambar, menulis, meronce manik-manik, menyulam, makan dll. Kemampuan motorik halus berkembang setelah kemampuan motorik kasar si kecil berkembang secara optimal (Yudha & Rudyanto, 2005). Perkembangan motorik yang mencakup motorik kasar maupun motorik halus merupakan perkembangan yang sangat menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pada tahap-tahap selanjutnya (Eka & Setyaningsih, 2012).

Beberapa alasan bahaya apabila seorang balita mengalami keterlambatan dalam motorik menurut Hurlock (1980) antara lain akan mengganggu perkembangan konsep diri anak dan akan timbul masalah pada perilaku dan emosinya. Sedangkan menurut Monks dalam Kurniawati (2005), keterlambatan pengembangan motorik berbahaya karena tidak menyediakan landasan ketrampilan untuk motorik. Tidak adanya landasan untuk ketrampilan motorik menyebabkan balita bermasalah pada hubungan sosial awal. Sehingga orang tua perlu mengenal tanda bahaya (red flag) perkembangan anak (Medise, 2013).

Sekitar 16% dari anak usia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia mengalami gangguan perkembangan saraf dan otak mulai ringan sampai berat (Depkes, 2006). Sekitar 5 – 10% anak diperkirakan mengalami keterlambatan perkembangan. Data angka kejadian keterlambatan perkembangan umum belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar 1 – 3% anak di bawah usia 5 tahun mengalami keterlambatan perkembangan umum yang meliputi perkembangan motorik, bahasa, sosio–emosional, dan kognitif (Medise, 2013). Keterlambatan dalam kecakapan motorik merupakan presentasi yang umum dijumpai pada gangguan perkembangan (Lumbantobing, 2001). Pendapat ini dapat dibuktikan dari hasil berbagai penelitian diantaranya penelitian di dua tempat penitipan anak di Piracicaba, SP, Brazil tahun 2010 mendapatkan 30% anak mengalami keterlambatan perkembangan motorik kasar dan motorik halus pada anak berusia 12 – 17 bulan. Menurut skrinning yang dilakukan peneliti dengan menggunakan DDST di salah satu Rukun Warga di Kecamatan Mulyorejo pada bulan April tahun 2014 didapatkan hasil 40% anak toddler usia 1 – 3 tahun pada ibu bekerja suspected atau dicurigai adanya keterlambatan pada perkembangan motoriknya baik motorik kasar maupun motorik halus.

Tahap – tahap motorik merupakan dasar kemampuan motorik – motorik yang lain. Dampak apabila tahapan motorik dasar tidak terlalui adalah anak tidak akan mempunyai konsepsi motorik dasar, sehingga tidak bisa menyadari geraknya. Perkembangan selanjutnya setelah bertambah usia akan mempengaruhi pada kecerdasan emosi, kecerdasan mental anak dan kemungkinan jangka panjang anak secara kecerdasan IQ bagus, tetapi kecerdasan EQ terhambat (Suhartini, 2011). Menurut penelitian, anak – anak yang banyak bergerak dan banyak menggunakan ototnya menunjukkan perkembangan kognitif yang lebih baik, sehingga penting mengetahui perkembangan motorik pada anak untuk mengidentifikasi adanya kelainan atau kesulitan, yang kemudian akan dijadikan dasar untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya (Wibowo, 2008).

Perkembangan motorik pada anak tidak terlepas dari peran seorang ibu. Saat ini banyak ibu tidak hanya mengurus rumah tangga tetapi juga mencari nafkah. rata – rata jam kerja di Indonesia adalah 7 – 8 jam, maka seorang ibu yang bekerja sepertiga waktunya di habiskan untuk kegiatan di luar rumah. Hal inilah yang mengakibatkan kurangnya waktu ibu bekerja untuk keluarga, khususnya untuk anak – anak jika dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja (Afwan, 1998).

Proses perkembangan anak yang terpenting bukan hanya berapa waktu yang dihabiskan bersama anaknya setiap hari, namun pada intensitas interaksi ibu sewaktu mereka sedang bersama (Gregor, 2007). Sebagian besar pertumbuhan otak bayi terjadi setelah lahir dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk stimulasi, serta pengasuhan orang tua. Tugas orang tua dalam hal ini adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga memungkinkan perkembangan berjalan sesuai usianya (Desmita, 2006). Hal tersebut menjadi alasan hendaknya pengasuhan dilakukan oleh keluarga sendiri, karena pengasuhan yang baik merupakan pengasuhan yang bertanggung jawab, dalam hal ini memerlukan pengetahuan yang baik khususnya dari orang tua yaitu ibu (Narendra, 2008).

Mengantisipasi adanya keterlambatan perkembangan motorik, perlu adanya penilaian atau deteksi dini yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta mengenal faktor resiko pada balita. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa – masa kritis proses tumbuh kembang.

BAHAN DAN METODE

Desain penelitian adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross – sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak toddler usia 1 – 3 tahun yang ada di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo dengan jumlah 111. Sampel ditentukan dengan menggunakan metode consecutive- sampling. Besar sampel adalah 60 ibu dan anak, yang terdiri dari 30 ibu bekerja beserta anaknya dan 30 ibu tidak bekerja beserta anaknya. Variabel independen dalam penelitian ini adalah ibu bekerja dan ibu bekerja, Variabel dependen yang diteliti adalah perkembangan motorik anak toddler usia 1 – 3 tahun yang meliputi motorik kasar dan motorik halus. Jenis instrumen yang digunakan adalah observasi terstruktur dengan mengacu pada DDST untuk mengetahui perkembangan motorik anak, serta kuesioner untuk data demografi. Data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney.

Keterangan / Jumlah / Prosentase (%)
1.  Umur
< 21 Tahun / 2 / 6,67
21 - 35 Tahun / 24 / 80
> 35 Tahun / 4 / 13,33
2.  Pendidikan Terakhir
SMA / 21 / 70
PT / 6 / 20
Lainnya / 3 / 10
3.  Jumlah Anak
1 / 12 / 40
2 / 13 / 43,33
>2 / 5 / 16,67
4.  Pekerjaan
Swasta / 30 / 100
PNS / 0 / 0
TNI/POLRI / 0 / 0

HASIL

Data umum yang disajikan terdiri dari dua kelompok responden yaitu ibu (bekerja/tidak bekerja) terdiri dari usia, pendidikan, jenis pekerjaan (ibu bekerja) serta jumlah anak. Sedangkan anak terdiri dari jenis kelamin, usia, keikutsertaan dalam PAUD, dan pengasuhan pada ibu bekerja.

Tabel 1. Karakteristik responden ibu tidak bekerja di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Surabaya Juni - Juli 2014.

Keterangan / Jumlah / Prosentase
(%)
1.  Umur
< 21 Tahun / 3 / 10
21 - 35 Tahun / 20 / 66,67
> 35 Tahun / 7 / 23,33
2.  Pendidikan Terakhir
SMA / 19 / 63,33
PT / 6 / 20
Lainnya / 5 / 16,67
3.  Jumlah Anak
1 / 10 / 33,33
2 / 12 / 40
>2 / 8 / 26.67

Tabel 2 menunjukkan mayoritas umur, pendidikan, dan jumlah anak ibu tidak bekerja sama dengan ibu bekerja.

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bekerja berumur diantara 21 – 35 tahun, berpendidikan terakhir SMA, memiliki jumlah anak 2, serta bekerja sebagai pegawai swasta.

Tabel 2. Karakteristik responden ibu bekerja di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Surabaya Juni - Juli 2014.

Tabel 3. Responden anak toddler di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Surabaya Juni – Juli 2014

Keterangan / Jumlah / Prosentase
(%)
1.  Umur
12 - 18 Bulan / 1 / 3,33
19 - 24 Bulan / 10 / 33,33
25 - 36 Bulan / 19 / 63,33
2.  PAUD
Ya / 6 / 20
Tidak / 24 / 80
3.  Pengasuhan
Keluarga / 23 / 76.67
Tetangga / 7 / 23,33
Penitipan / 0 / 0

Tabel 3 menunjukkan bahwa anak dari ibu bekerja sebagian besar berumur sekitar 25 – 36 bulan, tidak mengikuti PAUD dan diasuh oleh keluarga ketika ibu bekerja.

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar anak dari ibu tidak bekerja juga berumur sekitar 25 – 36 bulan dan tidak mengikuti PAUD

Tabel 4. Responden anak toddler usia 1 – 3 tahun di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Surabaya Juni – Juli 2014

Keterangan / Jumlah / Prosentase
(%)
1.  Umur
12 - 18 Bulan / 1 / 3,33
19 - 24 Bulan / 13 / 43,33
25 - 36 Bulan / 16 / 53,33
2.  PAUD
Ya / 11 / 36,67
Tidak / 19 / 63,33

Hasil dari observasi perkembangan motorik kasar anak dari ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Hasil observasi perkembangan motorik kasar anak pada ibu bekerja didapatkan sebanyak 23 anak dengan perkembangan motorik normal, 3 anak dengan suspected atau dicurigai adanya keterlambatan pada perkembangan, dan terdapat 4 anak dengan untestable atau tidak dapat dites. Sedangkan pada ibu tidak bekerja dari hasil observasi didapatkan sebanyak 26 anak memiliki perkembangan normal, 2 anak dengan suspected dan 2 anak untestable.

Hasil dari observasi perkembangan motorik halus anak dari ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Hasil observasi perkembangan motorik halus anak pada ibu bekerja didapatkan sebanyak 17 anak dengan perkembangan motorik normal, 9 anak dengan suspected atau dicurigai adanya keterlambatan pada perkembangan, dan terdapat 4 anak dengan untestable atau tidak dapat dites. Sedangkan pada ibu tidak bekerja dari hasil observasi didapatkan sebanyak 24 anak memiliki perkembangan normal, 4 anak dengan suspected dan 2 anak untestable.

Uji statistik untuk mengetahui signifikansi perbandingan perkembangan motorik anak toddler usia 1 – 3 tahun pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja adalah dengan menggunakan uji Mann – Whitney, kemudian didapatkan hasil untuk perkembangan motorik halus nilai p = 0,06. Hasil untuk perkembangan motorik kasar didapatkan nilai p = 0,313. Sehingga baik perkembangan motorik kasar maupun halus didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti H1 ditolak yaitu tidak ada perbedaan yang signifikan antara perkembangan motorik anak toddler usia 1 – 3 tahun pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di Kecamatan Mulyorejo.

PEMBAHASAN

Banyak faktor yang mempengarui perkembangan motorik kasar maupun halus. Beberapa faktor diantaranya adalah lama pemberian ASI, status gizi anak, pendidikan ibu, dan pendapatan perkapita (Husniati, 2007). Selain itu menurut Nur dalam Kurniawati (2005) frekuensi anak yang sering berlatih dan pemberian stimulasi yang sering akan meningkatkan kemampuan anak yang baik. Peran ibu dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak memiliki dampak bagi perkembangan anaknya. Apabila peran ibu kurang atau tidak berhasil maka anak akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, namun apabila peran ibu berhasil maka anak dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya (Werdiningsih & Astarani, 2012). Lingkungan pengasuhan dimana berhubungan dengan status bekerja ibu dianggap merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan anak (Arimurti, 2010).

Hasil dari perkembangan motorik kasar anak pada ibu bekerja didapatkan sebanyak 23 anak dengan perkembangan motorik normal, 3 anak dengan suspected atau dicurigai adanya keterlambatan pada perkembangan motorik kasar, dan terdapat 4 anak dengan untestable atau tidak dapat dites. Sedangkan pada ibu tidak bekerja dari hasil observasi didapatkan sebanyak 26 anak memiliki perkembangan normal, 2 anak dengan suspected dan 2 anak untestable. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara perkembangan motorik kasar anak toddler usia 1 – 3 tahun pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Anak dengan untestable atau tidak dapat dites karena beberapa hal seperti sulit berinteraksi dengan orang baru atau menderita suatu penyakit tertentu.

Tidak adanya perbedaan motorik kasar yang mencolok anak toddler usia 1 – 3 tahun pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja karena mayoritas ibu bekerja sudah memberikan kebutuhan fisik biomedis (ASUH), kebutuhan moral/kasih sayang (ASIH), dan kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH) yang baik. Hasil dari motorik kasar, anak dengan suspected pada ibu bekerja tidak ikut dalam PAUD, mayoritas merupakan anak tunggal serta diasuh oleh tetangga. Sehingga kemungkinan anak dengan suspected kurang mendapat stimulasi sebagai pendidikan dini. Pengasuhan oleh tetangga yang hanya berorientasi pada upah atau sekedar menjaga anak ketika ibu bekerja dapat menyebabkan kurangnya kebutuhan anak akan ASIH, ASUH, dan ASAH. Sama halnya pada ibu bekerja, anak dengan suspected pada ibu tidak bekerja juga tidak mengikuti PAUD, serta terdapat anak yang merupakan anak tunggal. Namun terdapat anak pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja yang berada dalam keluarga dengan jumlah anggota lebih banyak yang seharusnya telah mendapat stimulasi lebih, juga mengalami suspected, hal ini dapat dipengaruhi oleh pendapatan maupun nutrisi yang diberikan. Misal karena pendapatan yang kurang, ibu tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, sehingga nutrisi yang diperlukan untuk perkembangan motorik kasar anak masih kurang.

Anak dengan kemampuan motorik kasar yang baik atau normal pada ibu bekerja maupun ibu tidak bekerja dalam penelitian ini adalah anak yang mengikuti PAUD, tinggal dalam extended family atau bukan anak tunggal, dan diasuh oleh keluarga ketika ibu bekerja. Menurut Tedjasaputra dalam Mustika & Arifa (2011), kebutuhan stimulasi atau upaya merangsang anak untuk memperkenalkan suatu pengetahuan ataupun ketrampilan baru sangat penting dalam peningkatan kecerdasan anak. Hal inilah yang didapatkan anak ketika mengikuti PAUD. Jumlah saudara sebagai teman bermain juga dapat berpengaruh dalam menstimulasi perkembangan motorik anak. Hidayat (2006) mengemukakan bahwa salah satu dari faktor eksternal adalah lingkungan. Lingkungan (keluarga) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Batita yang mengalami kekurangan gizi akan berdampak pada keterbatasan pertumbuhan, rentan terhadap infeksi, peradangan kulit dan akhirnya dapat menghambat perkembangan anak meliputi kognitif, motorik, bahasa, dan keterampilannya dibandingkan dengan batita yang memiliki status gizi baik.