AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

PENGEMBaNGaN KAWASAN AGROWISATA BERBASIS SALAK

DI KABUPATEN PONOROGO

Development of Salacca agro-tourism areas in Ponorogo Regency

Salyo Sutrisno

Dosen Jurusan SOSEK FP UB

Soemarno

Dosen Jurusan Tanah FP UB

aBSTRaCT

This research has purpose to analyze comparative and competitive advantage of salacca agrotourism development in Ponorogo regency, and to describe its management model. The research be performed in Ponorogo, East Java, involving several areas of salacca mixed gardens. Sample of gardens are taken through purposive sampling, while actors of salacca gardening are selected through the method of snowball sampling. To analyze the salacca gardens management system is used any qualitative methods supported by any relevant quantitative data.

According to the analysis, there are three main points as conclusion of this research as following: (1) the management of salacca agrotourism should be considered as the natural resources management oriented into any public interest, (2) the gardening institution should be developed into the KOPERASI institution. This institution should be strengthened involving its supporting sectors simultaneously under local economy situstion, (3) analysis of public policies in agrotourism shows that it has been occurred gradual changes in the long run. Comparative advantages of salacca agrotourism development are: (a) availbility of any raw materials which ares supported by the high suitability of land and agroclimate resources; (b) competitive advantges of the Salacca-fruit the regional and national markets; (c) avilability of human resources and social institutions, (d) avilbility of any supporting physical infrastructures and social traditions which are condusive in salacca agrotourism activities, (e) a high potency of market for any salacca products.

Keywords: salacca agrotourism, Comparative advantages

aBSTRaK

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji potensi pengembangan dan pengelolaan agrowisatv berbasis salak di Kabupaten Ponorogo, dan kemudian mendeskripsikan model pengelolaanny .

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif – observsional untuk memperoleh gambaran yang mendalam tentang pengelolaan agrowisata berbasis salak. Data kuantitatif digunakan untuk memperkuat hasil-hasil kajian kualitatif. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan keunikan lokasi dan masyarakatnya. Kebun salak yang ada biasanya didominasi oleh campuran tegakan kayu-kayuan yang dikelola secara swadaya dan sebagian besar masih diusahakan secara tradisional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi ekonomi kebun salak cukup tinggi, sehingga mengharuskan penerapan pola kelembagaan dan manajemen yang lebih baik. Model yang sesuai adalah dengan mengembangkan kelembagaan dan manajemen yang dilandasi oleh nilai kebersamaan, rasa saling percaya, networking dan demokrasi. Kelembagaan yang sesuai dengan nilai tersebut adalah “KOPERASI” yang dibangun atas kehendak masyarakat dengan falsafah dari, oleh dan untuk masyarakat. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan kemampuan teknis, manajemen serta “bargaining power” masyarakat agrowisata dalam melakukan transaksi dengan pihak lain.

Kekuatan pengembangan agrowisata berbasis salak di Kabupaten Ponorogo adalah: (a) Ketersediaan bahan baku yang didukung oleh keunggulan komparatif kualitas sumberdaya lahan dan agroklimat; (b) Sifat unggul buah Salak untuk pasar regional dan nasional; (c) ketersediaan SDM dan masyarakat dengan etos kerja pantang menyerah; (d) Sarana /prasarana dan kelembagaan penunjang yang komitmennya tinggi terhadap pengembangan Kebun-Rakyat Salak; (e) Potensi pasar yang sangat besar.

Kata kunci: agrowisata salak, Koperasi

673

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

PENDAHULUAN

Salak adalah sejenis palma dengan buah yang biasa dimakan. Buah ini disebut snake fruit karena kulitnya mirip dengan sisik ular. Salak terutama ditanam untuk dimanfaatkan buahnya, yang populer sebagai buah meja. Selain dimakan segar, salak juga biasa dibuat manisan, asinan, dikalengkan, atau dikemas sebagai keripik salak. Salak yang muda digunakan untuk bahan rujak. Umbut salak pun dapat dimakan. Helai-helai anak daun dan kulit tangkai daunnya dapat digunakan sebagai bahan anyaman, meski tentunya sesudah duri-durinya dihilangkan lebih dahulu

Pengembangan kawasan agrowisata berbasis salak pada hakekatnya adalah kegiatan awal untuk memacu pengem-bangan ekonomi wisata di suatu kawasan. Secara bertahap berkembangnya kegiatan agrowisata diharapkan dapat diikuti oleh muncul dan berkembangnya kegiatan-kegiatan ekonomi terkait, baik secara horizontal maupun vertikal, serta peng-adaan jasa-jasa wisata di sekitarnya sehingga menumbuhkan dinamika per-ekonomian masyarakat.

Agar pembangunan kawasan agro-wisata berbasis salak ini dapat berhasil, kegiatan dan pendanaan yang tersebar secara parsial harus dapat dikoordinasikan dan dirangkai ke dalam suatu kegiatan yang saling bersambung, membentuk sistem agriwisata yang utuh. Untuk itu koordinasi perencanaan dan pengendalian sejak di kabupaten hingga tingkat lokasi, yang menjamin terfokusnya berbagai sumber-daya dan dana untuk pengembangan sentra dimaksud merupakan aspek yang sangat penting. Sehubungan dengan hal itu peranan Pemerintah Daerah sebagai pe-nguasa yang mengatur gerak pembangunan daerah sangat penting.

Pengembangan Kawasan agrowisata berbasis salak di wilayah Kabupaten Ponorogo ini ditujukan untuk memfasilitasi dan memandu masyarakat dan kelembagaan tradisionalnya setempat dalam melaksanakan usaha agrowisata secara ekonomis dan lestari.

Penyusunan rencana menyeluruh atas lokasi pengembangan agrowisata berbasis salak di wilayah Kab. Ponorogo ini di-harapkan dapat didukung sepenuhnya oleh PEMKAB Ponorogo dan instansi terkait, Masyarakat dan lembaga tradisionalmya, serta memuat hal-hal sebagai berikut :

a.  Rancangan Kawasan agrowisata ber-basis salak yang memuat output, target grup (kelembagaan sosial-tradisional yang ada), manfaat yang dihasilkan, dilengkapi dengan disain bio-fisik yang relevan (sistem wanatani tiga strata :

Strata I = Sengon + Jati Super

Strata II = Salak,

Strata III = TOGA

b. Rencana tahapan kegiatan hingga terwujudnya kawasan dimaksud, me-muat rencana kegiatan sinergis lintas sektor, subsektor, program dan institusi, beserta volume fisik.

c. Rencana operasional rinci yang harus dilaksanakan oleh masing- masing pelaku (CLUSTER) terkait, terutama kelompok tani yang telah ada.

d. Mekanisme koordinasi penyelenggaraan dan pemberdayaan di tingkat lokasi desa, Kecamatan dan PEMKAB Ponorogo.

Pemilihan lokasi (di kawasan lahan kering dan masyarakat sekitarnya) di-dasarkan atas ketersediaan lahan, ke-sesuaian lahan serta agroklimatnya untuk budidaya Jati Super dan Salak, kesiapan kelembagaan sosial penunjang , kesediaan masyarakat dan tersedianya tenaga kerja serta sumberdaya lain yang membentuk keunggulan komparatif wilayah untuk agrowisata berbasis Salak.

Pemilihan komoditas utama Salak, Jati Super, Toga dan Sengon serta komo-ditas penunjang tanaman pangan (jagung, ubikayu dan kacang-kacangan) serta jenis usahanya didasarkan atas:

(1). Potensi menghasilkan keuntungan ekonomis, melestarikan hutan jati dan lahan kering milik masyarakat sekitar,

(2). Produksi pangan dan potensi pe-masaran produk-produknya mudah,

(3). Akses sosioteknologi: kesiapan dan penerimaan masyarakat atas usaha agrowisata berbasis Salak ,

(4) Keunggulan Salak, toga, sengon dan Jati Super dalam memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya lahan kering.

(5). Kesesuaian sumberdaya lahan dan agroklimat bagi tanaman Salak - TOGA – Sengon dan Jati Super.

Beberapa permasalahan agribisnis Salak di wilayah lahan kering Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, yang dapat diidentifikasikan saat ini adalah:

(a). Volume produksi dan perdagangan buah Salak selama ini mengalami fluktuasi yang sangat tajam dari waktu ke waktu. Beberapa faktor yang terkait dengan masalah ini adalah fluktuasi potensial-demand pasar luar daerah dan domestik ; kendala-kendala kualitas (terutama tentang jenis/varietas yang paling disukai konsumen); keadaan teknik penanganan budidaya tanaman dan pascapanen buah; serta kendala-kendala kontinyuitas dan peningkatan kualitas buah segar.

(b). Sebagian besar tanaman Salak ditanam penduduk di lahan pekarangan dan lahan tegalan di sela-sela tanaman lainnya, sehingga total populasi pohon sangat rapat. Sejumlah besar Salak ditanam pada lokasi yang tingkat kesesuaian lahannya rendah, terutama dari sudut pandang agroklimat dan ketinggian tempat.

(c). Alternatif pengembangan kebun Salak tiga strata pada lahan tegalan atau perkebunan masih belum meyakinkan masyarakat, apakah tanaman Salak - yang diusahakan secara komersial cukup "layak" (feasible) baik ditinjau dari aspek finansial/ ekonomi, ekologi / lingkungan, maupun sosio-teknologi.

(d). Biaya investasi untuk pengusahaan Salak apabila dilakukan secara komersial (kebun monokultur) cukup besar, sulit terjangkau oleh individual petani.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif-observasional agar diperoleh gambaran yang mendalam tentang pengem-bangan area agrowisata berbasis salak sebagai upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan di wilayah Kabupaten Ponorogo. Data kuantitatif yang relevan digunakan untuk memperkuat hasil-hasil kajian kualitatif.

Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur, lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan keunikan-keunikan yang dimiliki di berbagai lokasi. Kebun salak tradisional yang ada biasanya dicirikan oleh vegetasi campuran dan tegakan kayu-kayuan yang dikelola secara swadaya dan sebagian besar masih diusahakan secara tradisional.

Data diperoleh dari keterangan informan, tempat dan peristiwa, dokumen yang relevan dan observasi lapangan secara langsung. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan informan, studi dokumen, dan pengamatan langsung di lapangan.

Analisis data dilakukan dengan tahapan - tahapan yang terdiri dari : Pengumpulan data lapangan, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan / pemaknaan atas hasil-hasil analisis data lapangan.

Hasil dan pembahasan

Prospek Pengembangan Agro-wisata Salak

Dalam hal perbaikan kualitas buah Salak (untuk menuju pada produk kualitas Salak Super) diperlukan upaya-upaya pemberdayaan petani produsen melalui penerapan teknologi tepat guna dalam aspek:

1. Teknologi Budidaya Tanaman, yang berkenaan dengan teknologi pe-rawatan tanaman dan pengelolaan kebun. Dalam hal ini teknologi “Bibit Cangkokan” dari tanaman induk unggul-bermutu yang terpilih menjadi prioritas utama untuk memperbaiki mutu tanaman apel yang ada sekarang.

2. Teknologi panen, yang berkenaan dengan “Kalender petik Buah” serta indikator visual yang berkaitan langsung dengan kualitas buah. Dengan teknologi ini dapat dilakukan panen buah secara bertahap sesuai dengan tingkat kSuperakan fisiologis yang optimal, biasanya pada umur buah 5-6 bulan.

3. Teknologi pasca-panen, terutama yang berkenaan dengan “pengepakan” buah apel dengan menggunakan “Tas anyaman pandan” untuk kemasan kecil (1-5 kg) , “keranjang bambu dengan klaras daun salak“ untuk kemasan 30-35 kg, serta “kotak kandus dengan kertas telur” untuk kemasan 15-20 kg.

Penggunaan sistem pengepakan dengan kotak karton yang dilengkapi dengan “Kertas Telur” disarankan untuk Buah salak Kualitas Super yang akan dipasarkan ke luar daerah atau di-ekspor ke luar negeri. Dalam hal penerapan teknologi pemeliharaan tanaman hingga panen dapat diabstraksikan sbb:

Tanaman salak dapat berbuah sepanjang tahun, namun musim panen raya biasanya terjadi sekali dalam setahun. Tindakan pengelolaan selama satu siklus panen buah adalah seperti berikut.

Teknik perawatan tanaman salak harus berpedoman pada bagan diatas, terutama jadwal penyerbukan dan pemetikan buah. Perawatan tanaman yang baik pada satu periode panen akan berpengaruh baik pula pada periode panen berikutnya.

Jenis Salak unggul yang saat ini dijumpai di wilayah Ponorogo adalah Salak Pondoh dan Salak Lokal. Keberhasilan pengembangan Salak di wilayah Kabupaten Ponorogo menghadapi beberapa tantangan, yaitu:

(a). Penyediaan bahan pangan bergizi

Pengembangan tanaman Salak harus-lah diarahkan pada lahan kering kritis (pekarangan, tegalan, kebun campur-an, dan hutan rakyat). Arah kebijakan ini dipertegas oleh Program Pem-berdayaan Ekonomi Superyarakat Desa yang menggelarkan "gerakan Salakisasi", yaitu menanam tanaman Salak, TOGA, sengon dan Jati Super pada setiap jengkal lahan kritis yang kosong dalam sistem wanatani.

(b). Pengelolaan lahan kritis

Lahan-lahan kritis di wilayah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur sampai saat ini masih terus memerlukan penanganan yang lebih serius, terutama yang berada di kawasan lahan masyarakat dan kawasan hutan di sekitarnya. Kenyataan ini mendorong adanya kebijakan khusus untuk mengge-rakkan program penghijauan yang ekonomis. Jenis tanaman yang dianjurkan adalah Salak ber-dampingan dengan Jati Super dan tanaman sela jagung/ubikayu/kacang-kacangan, karena tanaman ini di-samping untuk tujuan penghijauan sekaligus dapat meningkatkan pen-dapatan masyarakat .

673

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

Panen

Pemangkasan /Penyiangan

Pemupukan

Pembumbunan

P emangkasan tunas

Pembungaan

Pestisida Bunga betina:

Penyerbukan berwarna merah,

cerah, segar

Serbuk sari ku-

Fruitset ning-kemerahan

Penjarangan

Pembungkusan Pemeliharaan Buah

Panen

673

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

(c). Respons petani

Respon petani untuk menanam Salak, TOGA, Sengon dan Jati Super pada lahan kering (pe-karangan, tegalan, kebun, dan lahan-lahan terlantar) cukup besar. Untuk lebih membantu respon penduduk ini diperlukan adanya Kawasan Pengembangan Agri-bisnis Salak sebagai sentra untuk menampung dan menyalurkan hasil-hasil produksi kebun Salak

(d). Intensifikasi penggunaan lahan

Intensitas penggunaan lahan ke-ring-kritis masih sangat rendah yakni satu kali setahun (tanam yang ke dua kadang-kadang ber-hasil dipanen dan kadang-kadang gagal dipanen karena mengalami kekeringan). Pada musim kemarau lahan-lahan seperti ini praktis tidak menghasilkan produk, se-hingga lazimnya dikategorikan sebagai lahan "Sleeping Land". Dengan demikian penanaman Salak pada lahan seperti ini di-harapkan dapat meningkatkan intensitas produktivitasnya.

(e). Peningkatan pendapatan petani

Hasil penelitian menunjukkan bah-wa tanaman Salak memberikan sejumlah pendapatan keluarga. Kenyataan ini menunjukkan bah-wa apabila pengembangan Salak diarahkan pada lahan-lahan petani tersebut diharakan dapat mening-katkan pendapatan petani.

(f). Kesesuaian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat bagi Salak

1. Kondisi Iklim

Temperatur BERKISAR 15-40oC, dan kisaran optimumnya adalah 22 - 28oC; curah hujan berkisar antara 750 - 2500 mm/tahun dengan bulan kering mencapai 6 bulan.

2. Tanah

Dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, kedalaman (>50 cm), konsistensi gembur (lembab), permeabilitas sedang, drainase baik, tingkat kesuburan sedang, tekstur lempung dan lempung berdebu; pH tanah berkisar 4.5 - 8.2, dan kisaran optimum pH 5.5 - 7.8

Penurunan hasil dapat terjadi karena salinitas dengan DHL > 1 dS/m. Penurunan hasil dapat mencapai 50% kalau DHL mencapai 6 dS/m atau ESP mencapai 20%; dan tidak mampu berproduksi apabila DHL mencapai 9dS/m. Tanaman memerlukan pupuk yang banyak terutama pupuk organik pada masa pertumbuhan.

3. Hasil buah

Produksi kebun Salak komersial dapat mencapai 14-20 ton/ha atau 38-440 kg /pohon. Kebun Salak jenis unggul dapat menghasilkan hingga 30-40 ton/ha atau 271-620 kg/pohon

673

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426


4. Persyaratan penggunaan lahan untuk Salak :

Persyaratan penggunaan/ / Kelas Kesesuaian Lahan:
Karakteristik Lahan / S1 / S2 / S3 / N
Temperatur (tc):
Temperatur rataan (oC) / 22-28 / 18-22
28-34 / 15-18
34-40 / <15
>40
Ketersediaan air (wa)
Curah hujan, mm/th / Salak - TOGA – Sengon
1250-1750 / 1750-2000
1000-1250 / 750-1000
2000-2500 / <750
>2500
Kelembaban udara (%) / >42 / 36-42 / 30-36 / <30
Ketersediaan oksigen (oa):
Drainase / Baik -
Agak baik / Agak terhambat / Terhambat, agak cepat / Sangat terhambat -
Cepat
Media Perakaran (rc):
Tekstur / ah; s / ak / h / k
Bahan kasar (%) / <15 / 15-35 / 35-55 / >55
Kedalaman tanah (cm) / >100 / 75-100 / 50-75 / <50
Gambut:
Ketebalan, cm / <60 / 60-140 / 140-200 / >200
+ dgn sisipan/pengkayaan / <140 / 140-200 / 200-400 / >400
Kematangan / Saprik+ / Saprik
Hemik+ / Hemik
Fibrik+ / Fibrik
RETENSI HARA (nr):
KTK liat, cmol / >16 / <= 16
Kejenuhan Basa , % / >35 / 20-35 / <20
pH H2O / 5.5-7.8 / 5.0-5.5
7.8-8.0 / <5.0
>8.0
C-organik, % / >1.2 / 0.8-1.2 / <0.8
TOKSISITAS (xc):
Salinitas (dS/m) / < 4 / 4 - 6 / 6 - 8 / > 8
SODOSITAS (xn)
Alkalinitas (ESP) , % / <15 / 15-20 / 20-25 / >25
BAHAYA SULFIDIK (xs):
Kedalaman sulfidik, cm / >125 / 100-125 / 60-100 / <60
BAHAYA EROSI (eh):
Lereng, % / < 8 / 8-16 / 16-30 / >30
Bahaya Erosi / sr / r-sd / b / sb
BAHAYA BANJIR(fh):
Genangan / F0 / - / - / > F1
PENYIAPAN LAHAN (lp)
Batuan di permukaan, % / <5 / 5-15 / 15-40 / >40
Singkapan batuan, % / <5 / 5-15 / 15-25 / >25

Keterangan: Tekstur: h = halus; ah = agak halus; s = sedang; ak = agak kasar. + = gambut dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral. Bahaya erosi: sr = sangat ringan; r = ringan; sd = sedang; b = berat; sb = sangat berat.